Putusan 4,5 tahun penjara terhadap Tom Lembong bukan hanya menghukum seorang mantan menteri, tapi juga mempermalukan logika hukum negara ini.
Tom memang dinilai bersalah karena memberi izin impor gula tanpa mengikuti prosedur tertentu. Tapi publik bertanya, mengapa hanya Tom yang masuk penjara, sementara pejabat lain yang melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih berani main api, masih berseliweran di panggung kekuasaan?
Apa yang dilakukan Tom Lembong adalah kebijakan, bukan pencurian. Tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadinya. Tak ada gratifikasi, suap, atau permainan mafia anggaran. Ia hanya mengambil keputusan sebagai pejabat negara.
Jika keputusan itu dianggap keliru, maka seharusnya semua pihak yang terlibat, baik sebelum maupun sesudahnya, juga dimintai pertanggungjawaban hukum.
Jika kesalahan prosedur impor gula dianggap pelanggaran hukum, mengapa hanya Tom yang dijerat? Bukankah beberapa Menteri Perdagangan setelahnya juga melakukan hal serupa?
Di sinilah keadilan hukum terasa ompong. Hukum tak lagi menjadi instrumen keadilan universal, tapi berubah menjadi alat yang dipakai tergantung siapa yang berkuasa dan siapa yang sedang “tidak aman”.
Beberapa tokoh hukum nasional yang kredibel, juga menyatakan hal yang sama, bahwa unsur korupsi memang terpenuhi dalam kasus Tom Lembong, yang mana dalam kasus itu ada kerugian negara dan ada pelanggaran prosedur. Namun yang menjadi sorotan bukan semata vonis, melainkan ketidaksetaraan hukum yang mencolok di baliknya.
Oleh karnanya, vonis ini menunjukkan wajah hukum yang pincang, tajam ke satu orang, tumpul ke kelompok yang lebih kuat. Tom Lembong menjadi contoh bagaimana hukum bisa dipakai untuk menjatuhkan satu individu, bukan untuk menegakkan keadilan secara menyeluruh.
Ini bukan lagi soal benar atau slah, tapi soal siapa yang lemah dan siapa yang sedang “tidak dilindungi”.
Jika kebijakan bisa diadili tanpa menyentuh para pemangku kebijakan lainnya, maka hukum berubah jadi senjata politik. Bayangkan, hari ini seorang menteri bisa dipenjara karena kebijakan ekonomi. Besok, seorang kepala daerah bisa dipenjarakan karena salah menganggarkan bansos.
Dan siapa pun bisa dijadikan tumbal jika tak lagi dekat dengan lingkar kekuasaan.
Tom Lembong mungkin salah secara prosedur. Tapi jika dia satu-satunya yang dihukum atas kesalahan kolektif, maka yang sebenarnya bermasalah adalah sistem hukum kita.
Sebab keadilan yang dipilih-pilih bukanlah keadilan. Itu adalah pembalasan yang disamarkan.
Dan ketika hukum sudah dipakai untuk balas dendam, maka negara ini sedang berjalan menuju kuburannya sendiri, dengan langkah-langkah yang dibenarkan oleh palu hakim.
Penulis: Heri Siswanto
Tinggalkan Balasan